yusriahismail.com

Gaya Pengasuhan Ala Danish (Ulasan Buku The Danish Way Parenting)

17 komentar


Coba pejamkan mata dan bayangkan "Bagaimana reaksimu ketika melihat rumah berantakan dan kondisimu dalam keadaan lelah, stress karena anak-anak sibuk berlarian kesana kemari?"

Tambah stress? Ngomel ke anak-anak?? Atau malah sibuk buka olshop dan masukkan barang-barang ke keranjang tapi entah kapan di checkout?? Wkwkwk
***
Sebagai mamak milennial, betapa bersyukurnya saya dengan perkembangan ilmu pengetahuan saat ini. Pun dengan kecanggihan teknologi sehingga memungkinkan saya yang ada di kota kecil Sulawesi Selatan bisa tau kejadian di Uyghur atau Australia sana. Tak terkecuali informasi tentang parenting. Tanpa perlu capek keluar rumah, gembol anak, keringatan, dan dengan kekuatan jempol, informasi-informasi mengenai parenting bisa diakses. Ini sebuah perayaan untuk kaum leyeh-leyeh garis keras seperti saya.

Seorang Amerika, Jessica, yang tertarik dengan gaya pengasuhan Denmark, menghabiskan 13 tahun hidupnya untuk riset demi menemukan formula pengasuhan ala Danish (sebutan untuk orang Denmark). Ini semua bermula dari pertanyaan "Kenapa orang Denmark dimulai tahun 1963 disebut sebagai salah satu kota yang warganya paling bahagia". Alih-alih karena sistem pemerintahan yang bagus, kebijakan yang merata, menurut Jessica, cara pengasuhan adalah alasan kenapa Danish menjadi warga paling bahagia di muka bumi.

Reaksi yang muncul pertama kali dari pertanyaan diatas adalah default setting (pembawaan alami) atas suatu kejadian ketika kita terlalu lelah untuk memilih cara yang lebih baik. Pembawaan alami ini umumnya turun temurun dari orang tua atau keluarga kita. Setelan ini seperti motherboard yang muncul begitu saja ketika kita dalam kondisi terpojok. Dan seringnya setelah melakukannya, kita akan merasa bersalah.

Menariknya, beberapa buku dan seminar parenting yang saya datangi selalu menekankan untuk mengenali diri sendiri dulu sebelum menetapkan metode pengasuhan. Mengenali default setting kita adalah kunci gaya pengasuhan seperti apa yang akan kita lakukan. Jadi, nanti ga ada ceritanya, mamak A iri sama mamak B yang sukses bikin anaknya hafal Al-Quran di usia dini.

Jadi, kalau mau tau sifat alami kita yaa coba bikin diri sendiri stress (?). Jessica menyimpulkan ada 5 gaya pengasuhan ala Danish yaitu Play, Autentifikasi, Reframing, Emphaty, No Command dan Togetherness. Kelima gaya pengasuhan ini kalau disingkat menjadi PARENT.

P for PLAY

Generasi 2000 kebawah adalah generasi yang mengenali berbagai macam permainan tradisional. Sebut saja gobag sodor, congklak, bentengan, kasti, lompat tali, dll. Lambat laun, permainan tradisional semacam ini makin hilang digantikan permainan teknologi. Kita rindu anak-anak yang berteriak, tertawa, saling menertawakan, sambil membungkukkan badan dan mengusap setitik air di sudut mata.

Berbagai riset menyebutkan bahwa permainan tradisional semacam ini meningkatkan soft skill. Padahal dulu kami mainnya tanpa tau bahwa permainan tersebut bisa membentuk karakter, kepemimpinan, mengatur emosi, menekan stress, meningkatkan kemampuan interaksi dan sosial skill semakin terbentuk. Bahkan anak-anak yang mampu menghadapi tantangan di masa depan dengan ini. Kita tercengang. Juga membentuk diri dengan pola internal.

Kepikiran gak sih dulu waktu mau main kasti, bentengan, congklak dan permainan-permainan yang katanya tradisional ini bisa membentuk jiwa kepemimpinan, karakter diri, keberanian, kemandirian bahkan bisa pandai mengelola emosi?. Main mah main aja ya, walaupun mainnya pulang sekolah dimana kulit tambah eksotis 😂, rambut bau matahari (babay pentin) dan baju jadi kotor tapi rasanya seru, happy dan bebas. Dan riset membuktikan bahwa permainan tersebut bisa meningkatkan soft skill kita.

Play (bermain) adalah tahap pertama yang dijabarkan pada buku The Danish Way Parenting. Jessica mengungkapkan bahwa di Denmark sangat menekankan pentingnya bermain bebas. Bahkan anak-anak usia 10 tahun, setelah mereka pulang sekolah memiliki tempat untuk bermain penuh secara mandiri (tanpa interupsi orang dewasa). Alih-alih diikutkan les ini itu, para orangtua di Denmark menyadari bahwa dengan membiarkan anak-anak mereka bermain artinya memberikan ruang belajar dan tumbuh.

Lalu saya kembali dihadapkan pada kenyataan hari ini, dimana anak-anak (dan saya sendiri 😢) lebih sering khusyuk menundukkan kepala. Cermat menatapi layar-layar handphone. Dipanggil berkali-kali, cuek. Bahkan ketika waktunya shalat dan makan dilakukan buru-buru. Betapa sedihnya.

Lantas generasi alpha yang sedang terlelap (babyQ) ini tantangan kedepannya gimana?. Baiklah, besok-besok kita main kasti bareng ya nak. Tapi, mukulnya jangan kencang-kencang ya, Umma larinya sudah tak sehebat dulu 😂.

Beberapa tips untuk Play adalah
  • Biarkan anak-anak bermain dengan imajinasi mereka. Pretend play bisa menjadi salah satu cara agar anak berimajinasi bebas
  • Batasi Gadget dan sebagainya, apalagi untuk usia dibawah 2 tahun
  • Ajak anak ke alam bebas 
A for AUTENTISITAS

Ending parasite memang menyesakkan. Sudahlah jalan ceritanya tak tertebak kemudian disempurnakan dengan ending yang bikin kita bengong. Film Korea yang masuk dalam jajaran nominasi Oscar ini adalah potret kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya. Hidup yang seolah-olah tidak pernah memihak pada si miskin.

Film Denmark, kata Jessica, sang penulis The Danish Way Parenting, selalu menampilkan keaslian hidup. Katakanlah The Little Mermaid, karangan HC Andersen, menampilkan ending yang membuat kita nelangsa. Orang Denmark (Danish) percaya bahwa tragedi menyedihkan adalah hal-hal yang harus dibicarakan.

"Bagaimana mau bahagia kalau sedih aja ga tau rasanya kayak apa," demikian penggalan dialog dalam film yang lagi booming akhir-akhir ini. Sang Ayah di Film Nanti Kita Cerita Hari Ini, sebagai tanggungjawabnya menjadi kepala keluarga ingin memastikan semua anggota keluarga bahagia, dan sedih adalah episode yang tak boleh hinggap di kehidupan mereka. Sayangnya, sang ayah lupa, sedih adalah bagian dari emosi yang tidak akan pernah bisa dihilangkan.

Mengajarkan kejujuran emosi adalah pembelajaran yang sangat penting di Denmark. Mengenali keaslian (autentisitas) diri salah satunya dengan memahami emosi diri. Hal ini sangat berpengaruh ketika anak dewasa, sehingga anak tau bagaimana harus bertindak ketika menghadapi kejadian tertentu. Pun dalam memberikan pujian kepada anak. Danish akan menghindari pujian yang akan menjadikan anak punya pola pikir permanen.

Alih-alih mengatakan "Kau memang cerdas nak sudah mengerjakan soal sulit ini", Danish akan mengatakan "Kau pasti sudah bekerja keras untuk menyelesaikan soal sulit ini". Bahkan perusahaan-perusahaan lebih menerima pegawai dengan pola pikir berkembang ketimbang pola pikir permanen. Memiliki pola pikir berkembang menjadikan diri tidak berhenti untuk belajar dan bertumbuh. 

Jujur aja, mengajarkan kejujuran emosi adalah salah satu tahap yang paling penting. Apalagi ketika usia anak masih balita. Mengajak anak memahami emosinya dan bagaimana mereleasenya adalah bagian pertumbuhan anak yang tak boleh diabaikan. Serial emosi balita juga saya tulis disini.

Insyaallah lanjut di postingan berikutnya ya 
Yusriah Ismail
A Lifestyle Blogger, Read Aloud Certified and Parenthing Enthusiast

Related Posts

17 komentar

  1. Aku blum pernah baca buku ini mbak, meskipun fenomenal syekali. Masuk list bacaanku setelah baca ulasan ini.

    BalasHapus
  2. Selfplak bgt buat saya pribadi dan mungkin banyak ibu di luar sana. Yg notabene hari ini jamak khusyuk menunduk ke bawah sembari mengelus gadget sembari tanpa sadar 'abai' dengan perkembangan buah hati. Lantas bila seperti ini yg terjadi, maka apa kabar generasi selanjutnya? 💔 Yuk semangat perbaiki diri perbaiki pola pengasuhan (selftalk). So thank for reminder mba Yusriah 😊🙏

    BalasHapus
  3. Mengajarkan anak-anak mengenal dan menghandle emosi, ini yang sering kita belum aware di Indonesia. Aku pun terhitung agak terlambat menyadari. Untungnya, walau agak telat, akhirnya teratasi juga.

    BalasHapus
  4. Iya ya enggak kepikiran yah permainan tradisional banyak banget manfaatnya untuk membangun karakter anak. Pengen baca bukunya.

    BalasHapus
  5. Sampai saya catat satu per satu dibuku
    Bagus banget ilmunya

    BalasHapus
  6. dunia parenting ternyata luas sekali ya, bermain bagian dari parenting, mengajarkan cara mengatur emosi termasuk rasa sedih juga bagian dari parenting. Terimakasih share nya mbak, nambah ilmu lagi

    BalasHapus
  7. Penasaran lanjutan postingan berikutnya bunda.

    BalasHapus
  8. Wah aku setuju semua sama artikel ini. Play sama Autensitas itu penting. Ketika kita udah bisa tahu apa itu emosi, kita bisa mengenal diri kita lebih baik ya. Justru ini yg penting diajarkan ke anak-anak menurutku

    BalasHapus
  9. Saya udah baca bukunya dan di sini lebih lengkap penjelasannya. Sosial emosional yang kadang terlupakan oleh sebab itu pendidikan kita kembali menekannkan karakter.

    BalasHapus
  10. Sepertinya sya perlu juga nih kak. Untuk belajar parenting lebih dalam. Agar bisa menerapkan karakter yang lebih baik untuk generasi selanjutnya.

    BalasHapus
  11. Jadi ingin baca bukunya. Saya suka sekali pemaparannya. Saya jadi memahami tentang emosi dan bagaimana seharusnua memberi pujian pda anak. Terima kasih kak

    BalasHapus
  12. Merasa beruntung bisa menikmati kehidupan di tahun 90-an sampai 2000-an. Menarik dan bermanfaat sekali ulasannya, Mbak. Ditunggu part berikutnya.

    BalasHapus
  13. Meski saya belum punya momongan, tapi tema parenting selalu menarik untuk saya pelajari. Dan sekarang dapat tambahan referensi lagi nih dari artikel Mbak Yus, terima kasiiiih

    BalasHapus
  14. Selalu ada ilmu baru setiap membaca buku atau pemaparan tentang parenting. Belajar terus

    BalasHapus
  15. Insekur dalam pengasuhan bisa jadi karena orang tua tidak memahami definisi dirinya ya. Jadi selalu membandingkan dan rendah diri ketika melihat orang lain

    BalasHapus
  16. MasyaAllahu, kengkap banget ulasannya mba, mungkin sudah tidak perlu lgi ya baca bukunya, point of view nya udah dapet, hehe. Pembentukan karakter melalui kegiatan sosial memang penting untuk perkembangan karakter anak spy lebih matang, ya mbak. thankyou for sharing mba

    BalasHapus
  17. Wah buku bagus ini sepertinya. Bisa dicoba untuk diterapkan siapa tahu cocok

    BalasHapus

Posting Komentar