Whoaaa..rasanya lama banget ya tidak menulis di blog. Eh pas di intip ternyata sudah hampir 1 bulan. Emang kudu ikut kelas yang bisa bikin diri terpecut untuk menulis. Salah satunya yaa kelas arisan backlink ini. Hehe.
Nah, kali ini saya mau cerita tentang pengalaman terbaru belajar public speaking di kelas Ibu Penggerak, Komunitas Sidina. Pertama kali lihat bannernya, langsung tertarik sebab pernah punya pengalaman tidak menyenangkan terkait public speaking.
Sekitar tahun 2010 atau 2011, saya tetiba diminta jadi pemateri salah satu fakultas. Perasaan saya langsung kacau. Kecamuk pikiran dan panik menjadi satu. Ini mereka gak salah orang? Begitu pertanyaan saya dalam hati.
Sayangnya saat itu, saya tidak bisa menghindar. Hampir sebagian besar pengurus organisasi BEM pulang kampung. Dan sebagian yang lain punya kesibukan. Saya saat itu juga bingung, gimana caranya pura-pura sibuk. Haha.
Dan tibalah hari H. Cucuran keringat sudah tak terhitung meluncur ke dahi, tengkuk, pelipis dan bagian mana saja yang bisa dilewatinya. Saya pun tak mampu menatap mata audience. Seolah saya adalah pendosa yang sedang tertuduh. Pokoknya hari itu ‘kacau’. Bahkan kejadian puluhan tahun itu begitu membekas dan seperti aib.
Namun, insiden yang masih menghantui itu membuat saya belajar lebih banyak. Termasuk salah satunya dengan ikut belajar public speaking di kelas Ibu Penggerak.
Belajar Public Speaking: Bekal Berani Bicara Tanpa Gugup
“Ibu-ibu siapa yang kalau bicara di depan umum gugupan? Sering tidak pe-de?”
Tanya teh Novi dengan suara ceria dan komunikatif. Ternyata kegugupan ketika berada di panggung itu dimulai dari ketakutan lho. Takut tidak percaya diri. Takut jadi pusat perhatian. Takut terlihat bodoh. Dan lain sebagainya.
Sayangnya, jika hal ini tidak teratasi maka akan mudah terbawa ketika berada dalam keramaian. Dan ujung-ujungnya akan semakin takut berada di depan public.
Masalahnya, ketakutan dan ketidakpercayaan diri ini sangat bisa tertular ke anak. Sebab biasanya anak mengikuti orang tua. Jadi jika anak sadar bahwa orang tuanya tidak pe-de maka ia pun juga. Sehingga perlu untuk mengendalikan rasa takut yang muncul.
Coba deh, ibu-ibu mulai mengubah sudut pandang dulu. Hal-hal yang dulunya sering terlihat negatif mulai kita cari sisi positifnya. Lalu relaks dan belajar teknik pernafasan. Selanjutnya latihan, latihan, dan latihan terus.
Proses ini memang ibarat belajar tanpa akhir. Teh Novi saja yang sudah malang melintang di jagat public speaking tetap mengasah dirinya.
Pemateri yang punya darah wong kito galo namun besar di Bekasi ini memaparkan banyak teknik. Mulai dari latihan vocal, latihan pernafasan, teknik bahasa tubuh hingga persiapan script/naskah.
Nah biasanya banyak orang yang melupakan script. Ini seperti bagian remeh temeh yang boleh ada dan tidak. Padahal mempersiapkan naskah sama artinya menyukseskan diri kita ketika berbicara di depan umum.
Kelas Public Speaking Sidina : Menyenangkan dan Bikin Ketagihan
Jujur, ini salah satu kelas menyenangkan yang pernah saya ikuti. Teh Novi sebagai pemateri terlihat antusias namun tetap mengontrol kelas. Ia tak hanya sekedar berbagi tapi membuat para peserta membagikan pengalamannya berbicara di depan umum.
Sebagai peserta pun saya banyak belajar dari peserta lain. Para peserta juga tak segan memberikan apresiasi untuk peserta lainnya.
Dan saya lebih suka karena ini kelas kecil. Pesertanya cuman sekitar 20 orang. Jadi privatenya lebih berasa. Hehe.
Belajar public speaking di kelas Sidina dibagi jadi 2 sesi. Sesi teori dan praktik. Harganya pun sangat terjangkau.
Saat sesi teori, para peserta masih bisa tersenyum namun saat praktik muncul rasa tak keruan. Belum juga naik panggung tapi sudah overthinking duluan. Haha. Teori-teori yang sudah disampaikan teh novi malah sudah lupa. Hihi.
Tapi sesi praktik juga menjadi bagian yang menyenangkan. Teh Novi sebagai penyimak mampu lugas dan jujur menyampaikan kelebihan dan kekurangan peserta. Duh jadi ketagihan deh ikut kelas public speaking lagi.
Ibu, Suaramu Penting
Belajar public speaking di kelas Ibu Penggerak bukan sekadar latihan berbicara. Ini adalah perjalanan menemukan keberanian, mengasah empati, dan menyalakan pengaruh positif di lingkungan.
Dulu, saya pernah berada dalam satu pemikiran bahwa apa yang bisa dilakukan ibu rumah tangga dari rumahnya?
Saya lupa bahwa meski terkungkung dalam rumah tapi diam-diam ibu sedang membangun peradaban. Dibalik daster bututnya, ia sedang meniti calon-calon pemimpin bangsa.
Maka jika lingkungan sudah tak sesuai, maka ibu wajib bersuara. Tetap meneriakkan kegelisahan.
Sebab jika tak bersuara, siapa yang akan protes tentang harga pangan pokok yang selalu melambung? Bagaimana anak-anak bisa mendapatkan gizi cukup?
Jika tak bersuara, siapa yang akan menolak tayangan-tayangan perusak kepribadian dan karakter anak-anak? Ya, kondisi yang kian mengkhawatirkan ini harus membuat ibu tetap belajar. Salah satunya dengan belajar public speaking di kelas Ibu penggerak.





Posting Komentar
Posting Komentar