yusriahismail.com

Growing Up with Toddler

12 komentar

#serialemosi

Suatu ketika, mama bercerita bahwa cucu tetangga ada yang minta dibelikan mainan sembari mengancam. Katanya dia akan mogok makan sampai mainan yang dimaksud tersedia dihadapannya. Ancaman tersebut juga direkam di hape orangtuanya.

Saya terhenyak.

Bagaimana bisa?

Pasalnya sang cucu masih berusia 3 tahun, yang mana anak-anak di usianya, jika keinginan tak dituruti paling sekedar ((sekedar)) #wkwkwkw tantrum. Ya marah-marah, ngambek, nangis dan sebagainya. Tapi mengancam?

Saya pun kepo. Bertanya lebih jauh tentang awal mula sampai sang anak mengeluarkan ancaman. Bukan buat ghibah ya. BIG NO. Murni ingin mengevaluasi diri sendiri juga. Pelajaran mengancam itu datang dari siapa atau manakah? Apakah dari orangtuanya? Apakah dari tontonan? Atau dari lingkungan sekitar?

Jujur, akhir-akhir ini memang sedang berada di fase tak nyaman melihat emosi anak pertama yang kadang tak terkendali. Terlebih adiknya baru lahir dan akhirnya dia menyadari bahwa perhatian orangtuanya tak lagi sepenuhnya untuk dia.

Hari-hari pertama lahiran sangat berat. Kakak baru tamat toilet training. Dan harus saya syukuri bahwa pencapaiannya tak sekedar mengeluarkan hajat tapi juga sampai cebok sendiri dan memakai kembali celananya. Alhamdulillah ya Allah. Meski proses setelah buang air kecil atau besar menuju memakai kembali pakaiannya sangat lama sekali dan kadang membuat mamak gondok. Pasalnya, kami juga sedang membiasakan dia untuk malu dengan auratnya. Hhhh..tarik nafas dulu yuk.

Di tengah puncak emosi kakak, perasaan saya mencelos. Lalu bertanya dalam hati,

“Yaa Rabb, jenis emosi apa yang akan kami turunkan padanya? Kenapa kayak gini?”

Dan di hari-hari pertama lahiran, saya ikut menangis bersama si kakak. Bingung bagaimana harus bereaksi dengan tantrumnya. Udah gitu kejadiannya selalu tengah malam. Suami pun sedang tugas di luar kota. MasyaAllah...sempurna sudah.

Kejadian kayak gini membuat saya harus banyak belajar lagi tentang emosi. Beruntung banyak kelas jarak jauh dengan modal nol rupiah yang menyediakan tema ini. Pembicaranya keren-keren pula.

Kenapa harus belajar banyak? Karena sadar bahwa literasi emosi adalah sesuatu yang jarang diajarkan saat di sekolah dan rumah. Bahkan kurikulumnya sepertinya hanya ada di taman kanak-kanak, padahal emosi adalah perasaan yang akan kita bawa sepanjang hayat. Nah, sebelumnya, yuk berkenalan dulu dengan apa itu emosi.

Emosi, apa itu?

Menurut Sujiono, 2005, emosi berasal dari kata emotus atau emovere atau mencerca (to stir up) yang berarti sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu, misal emosi gembira mendorong tertawa, emosi sedih mendorong untuk menangis. jadi wajar banget ya, kalau anak sakit atau sedih, maka akan menangis.

Bayi baru lahir aja sudah kelihatan emosinya walaupun kalau di fase ini emosi yang ditunjukkan belum bikin gemes sih hehe. Whuaaa..jadi dalam periode waktu tertentu, emosi anak pun berkembang. Seperti fisiknya yang juga bertumbuh, emosi pun ada fase perkembangannya.

Tapi seperti apa fase perkembangan emosi pada balita? Yuk kenalan yuk.

Fase perkembangan emosi 0-5 tahun

  1. Pada bayi hingga 18 bulan
  • Pada fase ini, bayi membutuhkan lingkungan yang aman dan familiar. Perlakuan yang diterimanya akan membentuk rasa percaya diri, cara pandang terhadap orang lain dan interaksi dengan orang lain.
  • Minggu ketiga atau keempat bayi mulai tersenyum jika ia merasa tenang dan nyaman. Minggu ke delapan ia mulai tersenyum jika melihat wajah dan suara orang di sekitarnya.
  • Pada bulan keempat sampai kedelapan bayi mulai belajar mengekspresikan emosi seperti gembira, terkejut, marah dan takut. Pada bulan ke-12 sampai 15, ketergantungan bayi pada orang yang merawatnya akan semakin besar. Ia akan gelisah jika dihampiri orang asing yang belum dikenalnya. 
  • Pada umur 18 bulan bayi mulai mengamati dan meniru reaksi emosi yang ditunjukkan orang-orang di sekitarnya dalam merespon kejadian tertentu. 
      2. 18 bulan sampai 3 tahun
  • Pada fase ini, anak mulai mencari-cari aturan dan batasan yang berlaku di lingkungannya. Ia mulai melihat akibat perilaku dan perbuatannya yang akan banyak mempengaruhi perasaan dalam menyikapi posisinya di lingkungan. Pada fase ini, anak belajar salah dan benar.
  • Pada anak usia dua tahun belum mampu menggunakan banyak kata untuk mengeskpresikan emosinya. Namun, ia akan memahami keterkaitan ekspresi wajah dengan emosi dan perasaan
  • Pada usia antara 2 sampai 3 tahun, anak mulai mampu mengekpspresikan emosinya dengan bahasa verbal. Anak mulai beradaptasi dengan kegagalan, anak mulai mengendalikan perilaku dan menguasai diri. 
      3. Usia antara 3 sampai 5 tahun
  • Pada fase ini anak mulai mempelajari kemampuan untuk mengambil inisiatif sendiri. Anak mulai belajar dan menjalin pertemanan yang baik dengan anak lain, bergurau dan melucu serta mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
  • Pada fase ini untuk pertama kali anak mampu memahami bahwa satu peristiwa bisa menimbulkan reaksi emosional yang berbeda pada beberapa orang. Misalnya dalam suatu pertandingan akan membuat pemenang merasa senang, sementara yang kalah akan sedih.Kompleks ya bun.
Asiknya, belajar perkembangan emosi anak tidak hanya untuk anak itu sendiri, tapi juga bisa menyelami emosi kita sebagai orangtua dan tidak buru-buru baper kalau ada orang lain yang tiba-tiba judge emosi anak.

Misalnya, suatu hari anak bertemu dengan orang asing yang belum pernah dilihatnya, tetiba dia nangis jejeritan kayak dipukul. Eh, orang tersebut kaget dan anak mendapat cap penakut.

Di sisi ini, orangtua tak perlu baper, ada masa anak merasa takut bertemu dengan orang asing. Jangankan orang asing, digendong bapaknya aja kadang gak mau kan. Maunya sama emak aja. Nempel kayak perangko.
Bagi anak, setiap hal yang dilakukannya adalah eksplorasi kebutuhan dan penasaran di dalam dirinya. Itu adalah belajar versi anak.
Meski ada aja kelakuan anak yang membuat orangtua kaget, menjerit, geleng-geleng kepala bahkan hampir pingsan karena yang dilakukannya adalah bahaya. Namun, yang pertama perlu disadari orangtua adalah bahwa kelakuannya bukan ingin membuat kita marah tapi wujud eksplorasinya.

Wkkwkwkwk...masyaallah, yuk belajar bareng bun. Dan reaksi kita akan ditangkap anak dan direkam dalam ingatannya.Hiikss,,reaksi yang kurang tepat tentunya akan mudah ditiru anak.
Anak mungkin bisa saja salah mendengar, namun anak tidak mungkin salah meniru.
Emosi adalah titipan Allah. Tentu, semua ada alasan kenapa berbagai jenis perasaan dititip pada satu makhluknya. Menurut Resa, 2010, fungsi emosi pada perkembangan anak adalah
  • Merupakan bentuk komunikasi
  • Emosi berperan dalam mempengaruhi kepribadian dan penyesuaian diri anak dengan lingkungan sosialnya
  • Emosi dapat mempengaruhi iklim psikologis lingkungan
  • Tingkah laku yang berulang dan ditampilan secara berulang dapat menjadi satu kebiasaan
  • Ketegangan emosi yang dimiliki anak dapat menghambat aktivitas motorik dan mental anak. Perlu disadari bahwa emosi tidak selamanya menetap. Jadi jangan buru-buru melabel anak bahwa dia anak penakut, cengeng, pemarah dan sebagainya.
Di usia balita, otak yang memegang kendali adalah otak reptil dan mamalia. Lobus frontal yang berperan penting untuk mengendalikan emosi belum matang. Jadi, ketika ada sesuatu yang tidak disukainya, bisa saja emosinya tidak terkendali. Dan disinilah peran terbesar orangtua dan lingkungan untuk mengajarkan anak.
Anak adalah titipan. Tidak hanya sekedar menjaga fisik tapi juga perasaan dan jiwa yang seringkali tak terlihat dan teraba.
(Bismillah..semoga ada seri emosi selanjutnya)

#MenulisAdalahHealing
#MenulisAdalahMenasehatiDiriSendiri


















Yusriah Ismail
A Lifestyle Blogger, Read Aloud Certified and Parenthing Enthusiast

Related Posts

12 komentar

  1. Benar juga ya. Anak itu titipan Tuhan. Mereka tidak minta dilahirkan oleh orang tuanya. Maka dari itu seharusnya orang tua dapat mengarahkan emosi balita

    BalasHapus
  2. Yang masih minim diketahui orang adalah bahwa ketika anak marah2, nangis2, teriak2 sebenarnya mereka itu bingung sama emosi sendiri.
    Banyaknya dari kita lbh mudah melabeli perilaku daripada nyoba cari tahu dan membantu anak memahami dan mengenai emsoinya sendiri.

    BalasHapus
  3. Anak usia 2-3 tahunan suka tantrum tapi banyak orang dewasa melabeli sebagai anak nakal, keras kepala dll...padahal anak sedang mengekspresikan dirinya tapi belum bisa menyampaikan secara verbal

    BalasHapus
  4. Masya Allah, self reminder banget ini buat saya. Relate dengan situasi yg saya hadapi saat ini. Thank for sharing mba Yusriah 😊🙏

    BalasHapus
  5. Saya pun mempunyai dua balita di rumah yang... masyaAllah luar biasa sekali. Harus banyak belajar memang mengenal emosi balita ini. Membaca tulisan Mbak Yusriah ini jadi serasa self reminder juga agar terus belajar memahami anak-anak

    BalasHapus
  6. Masya Alloh menjadi orang tua pembelajaranbya seumur hidup ya...

    BalasHapus
  7. Mbak, ak juga pernah merasakan kayak gitu. huhuh. Kenapa emosi anak gak beraturan. Makanya ak banyak ikut kelas soal mengelola emosi. Sampai di satu titik ikut kelas mbak Gesi, lumayan untuk evaluasi emosi diri.

    Peluk, mbak. Salam kenal ya..

    BalasHapus
  8. Aku juga sedang belajar ya tentang mengendalikan emosiku menghadapi emosi anak-anak yang usianya terpaut dikit. Sesi ini emang m3nguras emosi emaknya juga sih.. Tapi aku pun kadang sadar diri, kalau banyak salahnya.

    Untungnya aku juga banyak mengikuti seminar online tentang parents, jadi busa divoba.

    BalasHapus
  9. Ceritanya mirip2 aku 2 tahun lalu mbak, gak sampai ditinggal dinas juga sih waktu itu, tapi krn ngurus anak cuma bedua sama suami, emosi lg nggak stabil habis lahiran, kyknya mendekati baby blues waktu itu. Yang kalo bayi nangis, malah jadi ikutan nangis, Tetehnya ikut nangis pula. Wadidaw rasanya...

    BalasHapus
  10. Minim banget pengetahuan parenting, aku mau coba belajar dikit-dikit terutama soal tantrum sih. Walaupun belum punya anak, kadang ada ponakan yang tantrum, binging mau diapain..

    BalasHapus
  11. Informasi yang harus banyk orang tua tahu nih. Supaya bisa mendidik secara tepat juga perihal emosi anak.

    BalasHapus
  12. Perkembangan emosi anak ini memang perlu dikenali oleh para orang tua. Tantangan yang tak mudah, tapi bisa dipelajari. Semangat para orang tua :)

    BalasHapus

Posting Komentar